Glonggong...
Kalau dalam bahasa indonesia disebut dengan pelepah daun pepaya, dalam bahasa jawa disebut glonggong. Jaman dahulu glonggong digunakan sebagai permainan yang menarik bagi anak-anak waktu itu sebagai replika pedang yang dibuat untuk bertarung. Tidak tahu apakah jaman sekarang masih terdapat permainan rakyat seperti ini. Seiring perkembangan sekarang anak-anak sudah dimanjakan berbagai permainan yang lebih modern,yang tidak menuntut mereka untuk kreatif dan juga berusaha.
Seperti yang diceritakan dalam buku ini,Glonggong yang bukan semata permainan biasa. Ada filosofi yang terkandung dibalik permainan ini. Semisal sebelum memulai permainan sebagai pemain harus berusaha mencari glonggong sendiri dengan memanjat pepaya serta memilih glonggong yang daunnya agak menguning. Kenapa?dengan daun menguning bukan hijau berarti glonggong tersebut sudah mulai keras dan lentur sehingga tidak mudah rusak atau patah jika dibuat beradu tanding dengan pemain yang lain. Itu menandakan jika kita memulai sesuatu kita harus ada usaha yang keras dan sungguh sehingga mampu mencapai tujuan kita,seperti halnya dalam memilih glonggong tadi.
Didalam buku ini yang mempunyai setting waktu jaman perlawanan pangeran Diponegoro melawan pemerintah Hindia Belanda yang lebih dikenal dengan perang Jawa. Diceritakan seorang anak kecil yang gemar bermain glonggong dan selalu menjadi pemenang sehingga dijuluki pendekar glonggong sampai waktu dewasa. Dan dengan ketangkasannya waktu itu dia mendapat tugas mulia sebagai pengawal logistic bagi pasukan perjuangan Pangeran Diponegoro. Dan senjatanya pun dia tidak berubah,tetap menggunakan glonggong tapi bukan glonggong beneran tapi glonggong tiruan yang menyerupai yang terbuat dari kayu khusus buatan Empu yang tersohor.
Disini juga banyak protes sosial dari kalangan atas atau biasa disebut dengan para Priyayi pada jaman waktu itu. Mulai dari kebiasaan main perempuan, berjudi ataupun perlakuan terhadap para istri yang sekiranya sudah tidak diinginkan lagi sehingga diusir dari rumah utama dan digantikan posisi dengan istri baru yang lebih muda dan lebih dalam memuaskan nafsu para priyayi tersebut. Sikap para priyayi inilah utamanya para punggawa kerajaan Mataram waktu itu yang membuat Raden Mas Ontowiryo atau lebih dikenal dengan Pangeran Diponegoro menyingkir dari dunia keraton yang hingar bingar tersebut. Ditambah lagi dengan intervensi dari pihak Belanda yang seolah menguasai semua kebijakan keraton. Yang mana semua kebijakan itu tidak ada yang pro terhadap rakyat miskin. Dan dengan itulah yang mendasari pergerakan Pasukan Diponegoro yang didukung masyarakat kecil melawan ketidak adilan.
Rabu, 23 Desember 2009
Glonggong
Diposting oleh
native_people_art
di
19.25
Label: Book recommended
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar